
Sudahlah paragraf awal tadi aja
penggambaran dimana kala itu aku berada, ya aku berada di kota tua, tepatnya di
stasiun kota tuanya. Aku berjalan jalan menuju tempat yang aku bilang tak
begitu indah tadi. Hiruk pikuk kegiatan dari perdagangan hingga pemalakan aku
melihatnya.
Langkah demi langkah aku berjalan
– jalan, kendati di depanku banyak kegiatan aku tak hiraukan. Terus aku
berjalan membawa kamera pocket (kantong) di tangan, banyak wajah wajah seram
memandang tajam, tapi tetap aku tak hiraukan. Aku bergerak di antara kereta
dari kereta api yang menuju arah jawa tengan hingga kereta listrik (KRL) yang
menuju bekasi aku itari.
Sampai aku berada di ujung tempat
kereta beristirahat, jalur yang dekat dengan tempat makan ayam bumbu “kriuk”
CF*. Lurus aku berjalan, tak lebih dari 2 menit perjalananku setelah tempat
makan tadi, mataku terhenti pada sudut 90 derajat ke kananku, terlihat seorang
wanita lansia yang makan dengan wajah sedihnya. Entah mengapa aku terdiam,
padahal banyak kegiatan yang sama dan lebih menyedihkan dari itu mataku biasa
saja dan tak sampai terhenti.
Aku memotretnya secara diam –
diam, lalu kudekati dia, aku bertanya “ngapain nek disini?”, sang nenek
tersenyum, “nenek lagi makan nak, sehabis mengais rezeki buat cucu nenek di rumah”,
aku diam dan kembali bertanya, “nenek berkerja ya? Wah sudah setua ini nenek
masih hebat juga”, sang nenek melakukan suapan terakhir kemudian melipat kertas
nasi dan membuangnya pada tong sampah terdekat lalu dengan simpel menjawab, “iya
nenek harus kuat walau uangnya tak seberapa dari menjual sampah yang ada disini”.
Aku terdiam mendengan jawabannya,
tak lama dari jawaban sang nenek aku pamit dan berjalan lagi, berfikir di
perjalanan sampai naik kereta pulang menuju Kota Bekasi rumahku, aku masih
berpikir. Yang aku pikirkan hanya “saat istriku di masa depan sudah tua nanti, aku tak mau istriku
harus bersusah payah seperti nenek tadi, istriku harus tetap bahagia”.