Minggu, 26 Mei 2013

Kota Tua dan Masa Depan Pendampingku di Kala Tua

Kota tua, tepatnya di stasiun kota tuanya. Siapa yang tak tau kawasan di dalam maupun sekitar stasiun kota tua, daerah yang ramai dengan hiruk pikuk kegiatan perdagangan dan wisata “murah”. Kawasan yang tak begitu indah menurutku, karena kotor dan terlalu padat serta debu debu dari angkutan dan kendaraan yang berlalu lalang.
Sudahlah paragraf awal tadi aja penggambaran dimana kala itu aku berada, ya aku berada di kota tua, tepatnya di stasiun kota tuanya. Aku berjalan jalan menuju tempat yang aku bilang tak begitu indah tadi. Hiruk pikuk kegiatan dari perdagangan hingga pemalakan aku melihatnya.
Langkah demi langkah aku berjalan – jalan, kendati di depanku banyak kegiatan aku tak hiraukan. Terus aku berjalan membawa kamera pocket (kantong) di tangan, banyak wajah wajah seram memandang tajam, tapi tetap aku tak hiraukan. Aku bergerak di antara kereta dari kereta api yang menuju arah jawa tengan hingga kereta listrik (KRL) yang menuju bekasi aku itari.
Sampai aku berada di ujung tempat kereta beristirahat, jalur yang dekat dengan tempat makan ayam bumbu “kriuk” CF*. Lurus aku berjalan, tak lebih dari 2 menit perjalananku setelah tempat makan tadi, mataku terhenti pada sudut 90 derajat ke kananku, terlihat seorang wanita lansia yang makan dengan wajah sedihnya. Entah mengapa aku terdiam, padahal banyak kegiatan yang sama dan lebih menyedihkan dari itu mataku biasa saja dan tak sampai terhenti.
Aku memotretnya secara diam – diam, lalu kudekati dia, aku bertanya “ngapain nek disini?”, sang nenek tersenyum, “nenek lagi makan nak, sehabis mengais rezeki buat cucu nenek di rumah”, aku diam dan kembali bertanya, “nenek berkerja ya? Wah sudah setua ini nenek masih hebat juga”, sang nenek melakukan suapan terakhir kemudian melipat kertas nasi dan membuangnya pada tong sampah terdekat lalu dengan simpel menjawab, “iya nenek harus kuat walau uangnya tak seberapa dari menjual sampah yang ada disini”.
Aku terdiam mendengan jawabannya, tak lama dari jawaban sang nenek aku pamit dan berjalan lagi, berfikir di perjalanan sampai naik kereta pulang menuju Kota Bekasi rumahku, aku masih berpikir. Yang aku pikirkan hanya “saat istriku di masa depan sudah tua nanti, aku tak mau istriku harus bersusah payah seperti nenek tadi, istriku harus tetap bahagia”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar